Kamis, 20 Desember 2007

3 Bungkus Kopi

Seorang bapak tua, kira-kira umurnya sekitar 60 tahunan, menyapa 2 orang temanku, pengelola toko ini, dengan sapaan yang ramah, ia sapa pula aku dengan ramah. Ia penggemar tenis meja yang fanatik, sama denganku, boleh dibilang ia sangat sangat fanatik, sebentar sebentar dari mulutnya keluar kata-kata spin, smash, chop, karet Mark V, kayu Butterfly, flick, footwork, bintik setan dan hal lainnya yang tentu saja ulasan yang ia lontarkan berkenaan dengan dunia tenis meja. Bapak tua itu begitu bersemangat jika berceritera tentang tenis meja, tidak habis satu katapun bila berceritera tenis meja, semangatnya berkobar jika disinggung mengenai tenis meja. Bapak itu memperlihatkan umur tidak jadi patokan untuk tidak bersemangat, pelajaran pertama darinya mengenai tidak pernah pupus harapan dan semangat. Hari itu, ia datang ke toko ini, toko khusus peralatan tenis meja, kebetulan aku sedang berada di toko ini. Di toko ini, Ia kemudian keluarkan 3 bungkus kopi dari kantongnya, dan ia bilang kepada temanku, pengelola toko, Seduh ya mas. Kebetulan di toko ini terdapat 2 orang pengelola toko, jadi jumlahnya 3 dengan bapak tua itu, dan ia membawa 3 bungkus kopi siap di seduh, dan ia berkata kepadaku mohon maaf hanya membawa 3 bungkus dan ia menawarkanku satu bungkus bagiannya untukku, dan aku serta merta menolak dengan halus, dan berkata kepadanya bahwa barusan sudah ngopi, walau kenyataannya belum. Ah baiknya pak tua ini pikirku, ia datang ke toko ini tidak hanya sekedar untuk membeli perlengkapan tenis meja saja, melainkan juga dengan membawa 3 bungkus kopi siap seduh. Pelajaran kedua darinya, ia berbagi. Menurut temanku yang juga pengelola toko tersebut, setiap pak tua datang ia selalu membawa sesuatu, entah makanan, minuman ataupun lainnya. Dan jika di toko ia bisa menghabiskan waktu sampai 2 jam hanya untuk sekedar mengobrol saja. Pak tua ini akhirnya mengobrol denganku, kebetulan di toko itu tersedia beberapa kursi sehingga pelanggan dapat duduk dan mengobrol di sana, ia berceritera bahwa ia merasa nyaman di toko ini, pengelolanya ramah, faham tentang tenis meja dan asik bila diajak ngobrol, dan yang pasti katanya ia selalu diantarkan menyebrang jalan jika menggunakan angkot (angkutan kota). Pelajaran ketiga, aku dapatkan dari para pengelola toko itu, bahwa melayani dengan ramah dan tulus akan memperoleh ganjaran, dan hari itu ganjaran yang mereka dapat adalah pelanggan membeli produknya dan memberi kopi... Ah, wangi benar kopinya...

Kamis, 06 Desember 2007

BOS

Bos, transfer dari Bali tolong di cek. Ujarnya penuh semangat. Hati ini langsung saja tidak enak, Abeng sudah mulai berani memanggil kata-kata yang tidak sesuai dengan pribadi ini. Bayangkan, diri yang masing banyak bon di sana sini, cicilan yang menggunung, perut yang belum kelihatan membuncit, usia yang masih dibilang belum bangkotan, sudah di panggil kata-kata tak pantas tadi, Bos. Aku langsung mengerahkan kekuatan penuh untuk menekan Abeng, bahwa jengah benar diri ini dipanggil bos, bahkan dengan nada mengancam agar ia tidak lagi memanggil kata tersebut. Bayangkan betapa gak enak kita dipanggil bos oleh seorang sahabat yang selama ini telah kita kenal. Namun kata-kata tersebut terus saja keluar dari mulutnya sampai detik ini tidak pernah sedikitpun merubah kekukuhannya memanggil bos. Bos, sudah makan, Bos sudah di transfer? Bos mau ke mana? Bos, bos, bos... Bayangkan sampai urusan yang tidak ada hubungan dengan bisnispun ia panggil bos, bahkan dia sudah kurang ajar, di depan orangtuaku ia panggil aku bos. Tetap saja hati ini tidak terima juga, karena memang tidak pantas. Menurutku bos adalah panggilan buat orang kaya yang penghasilnnya minimal di atas 50 juta, tidak punya utang, perut buncit, sudah punya usia serta berpenampilan gentlemen, nah, aku sendiri belumlah seperti itu. Dan akhirnya aku punya cara yang tepat agar ia tidak memanggil kata itu lagi, siasatnya ialah ia kupanggil bos. Bos dibalas dengan bos. Impas Nah, akhirnya iapun mulai goyah pertahanannya, ia jengah, ia kesal. Bos Abeng, apakah hari ini kita akan datang ke suplier kita, ujarku. Langsung ia ralat pertanyaanku. Bukan menjawab isi pertanyaan tadi, malah menyangkal konteks pertanyaanya. Ia langsung berkata, bos adalah perkataan kurang pantas buatku, ia berseru, yang pantas adalah kau. Tidak kuladeni sedikitpun seruannya itu, hanya senyum simpul saja yang tersungging dimulutku. Dan ia memburu, dan terus aku tak pedulikan seruannya. Dan akhirnya ia menyerah, memberikan bendera putihnya, ia berjanji kata-kata bos tidak akan pernah lagi keluar dari mulutnya. Dan dimulainya kesepakatan damai tersebut, ia nyatakan gencatan senjata, sehingga membuat hati ini lebih tenang. Namun apa daya, beberapa hari berlalu ia mengkhianati gencatan senjata tersebut, ia panggil aku bos lagi. Dan mulailah aku bosan, bosan perang lagi. Setiap kata berkaitan dengan pemanggilan namaku ia ganti dengan kata bos. Mulai saat itu, kata-kata tersebut seperti angin lalu, karena telah manancap di alam bawah sadarku. Tidak apalah kataku, karena di kantorpun saya panggil teman sejawatku bos, dan aku panggil mereka juga bos. Di Jakarta semua orang saling panggil dengan kata bos. Saat ini, kata-kata bos tidak berarti bos.