Minggu, 17 Februari 2008

Adzan Terindah

Jakarta banjir, begitu pula di sekitar kantor Jumat itu, saya dengan rekan berusaha keluar darinya. Dengan menggunakan mobil teman, diiringi perasaan sedikit was-was kita keluar dari jebakan tersebut. Dan akhirnya, setelah lepas dari jebakan banjir, saya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, karena memang kebetulan besoknya libur akhir pekan. Namun sebelum pulang ke Majalengka, saya mampir terlebih dahulu ke Bandung, melihat usaha yang dimiliki dan juga rekan-rekan pengelolanya. Sore itu, tanpa mengalami hambatan, saya langsung menuju Bandung, dan langsung ke tempat rekan-rekan yang kala itu dikabarkan sakit. Dan ternyata ketika saya melihat mereka, keduanya terkapar, yang satu sakit flu berat, dan yang satunya lagi sakit gejala deman berdarah. Sudah 2 hari bisnis kita tutup kerena keduanya sakit. Di malam yang tidak ceria itu, saya memberikan dukungan kepada keduanya, dengan candaan untuk mendorong mereka menjadi bersemangat. Entah mengapa, malam itu suasana memang tidak seperti biasanya, tidak ada senyum ceria dari mereka. Mereka tergolek lemah. Rekanku Jamil [Abeng] yang selama ini selalu ceria tak mampu lagi tersenyum walau hanya sesaat, badannya sedang bertarung dengan sakit yang dideritanya. Akhirnya saya pun pergi tidur dan langsung terlelap malam itu. Betapa kagetnya ketika Jamil membangunkanku pukul 4 lebih 15 pagi. Ia berbisik lembut di telingaku, “ Bapak sudah tiada”, aku langsung kaget “ Inna lillahi wan inna ilaihi roojiun”, sontakku. “Mau pergi sekarang atau nanti siang a”, ujarnya tabah. Aku jawab “Berangkat sekarang saja, tapi tunggu pukul 5 pagi, karena bis yang ke Majalengka adanya pukul 5 pagi dari Bandung”. Tanpa menunggu waktu langsung kita bersiap dan berangkat menuju Majalengka. Di tengah perjalanan, saya hanya terdiam, dan sesekali melirik sahabat saya itu, hati ini miris, seumur hidupku, baru kali ini saya menemani orang yang akan melihat ayahnya pergi untuk terakhir kalinya. Di perjalanan, ia hanya terdiam dan terdiam, sesekali mendapatkan telepon dari keluarganya, mereka bertanya, sudah sampai di mana?, dan setiap lima belas menit telepon berbunyi lagi untuk menanyakan posisi terakhir. Dan begitu seterusnya. Keluarganya di telepon berkata, bahwa mereka tinggal menunggu Jamil, jika ia sudah datang dan melihat ayahnya untuk terakhir kali, langsung akan dimakamkan. Kala itu saya langsung teringat kembali ke masa lampau, ayahnya adalah sahabat ayahku, sama-sama penggemar tenis meja. Mereka bersahabat sedari kecil, begitu pun aku dan Jamil, kita bersahabat sedari kecil, juga hobi bermain tenis meja. Sudah 2 tahun terakhir ayahnya sakit keras. Serasa waktu merenggut kita kala itu, mobil bis yang kita tumpangi rasanya tidak sampai-sampai. Setelah tiga jam setengah, akhirnya kita sampai ke Majalengka, langsung menuju rumah Jamil. Di rumah duka, ia bertemu dengan ayahnya yang telah tiada untuk terakhir kalinya, ia cium kening ayahnya. Air mata yang tertahan selama di perjalanan, akhirnya merembes di pipinya. Jenazahnya langsung dibawa ke pemakaman. Di pemakaman, liang lahat yang sudah dipersiapkan telah menunggu jasad ayahnya. Dan sebelum jasadnya diturunkan. Adzan berkumandang……hatiku langsung teriris… inilah Adzan terindah yang aku dengar, indah sekali…indah dan saya serasa diingatkan…. Ketika kita lahir kedua telinga kanan dan kiri di kumandangkan adzan dan akhirnya ketika kita meninggal kitapun dimumandangkan adzan… Kullu nafsin dzaaiqatul maut. AllahumaghfirlaHu warhamHu wa’afiHi Wa’fuanHu… Usia ayahnya sama dengan usia nabi Muhammad ketika wafat.