Kamis, 29 Januari 2009

Objek Menjadi Subjek

Di luar, hujan besar telah reda, namun masih gerimis. Saya putuskan untuk berangkat ke kantor. Berangkat pukul setengah delapan dengan menggunakan sepeda motor dengan perlengkapan lengkap agar air tidak masuk. Perasaan saya, hari ini keadaaan jalan yang akan dilalui akan seperti kemarin, genangan di mana-mana, tingginya sekitar 15 cm. Maklum daerah yang akan dilalui menuju kantor melewati beberapa area genangan air. Selain daerahnya landai kemudian dekat dengan laut, Kantor yang akan dituju berada di daerah Sunter juga merupakan daerah yang jalannya banyak ditutupi beton di sana sini menutupi lalan. Jalan menuju kantor sebenarnya ada dua alternatif, lewat depan yang berarti mengikuti jalan tol di atasnya, dan lewat jalur belakang, menelusuri rumah penduduk. Dua-duanya pasti akan melewati genangan Dan benar dugaan saya, ternyata telah banyak genangan di mana-mana. Jalan alternatif yang menelusuri penduduk ternyata telah banyak tergenang air. Jalur ini adalah pilihan pertama, karena dilalui lebih awal. Ah susah juga kalau melalui jalur ini, karena kemarin juga saya melewati jalan ini direpotkan dengan harus menembus banyak genangan air. Akhirnya saya putuskan memilih jalur depan melalui jalur besar mengikuti alur jalan layang. Mudah-mudahan genangan tidak banyak dan kendaraan lancar. Dan tidak beberapa lama setelah melintasi jalur yang dipilih, saya dipertemukan dengan genangan air yang cukup banyak di dekat perempatan Coca Cola pinggir kantor Astra Honda Motor, namun air akhirnya dapat ditembus. Jalan masih lancar. Setelah sekitar 300 meter berjalan, ternyata jalan sudah mulai tidak lancar, dan kemudian benar-benar sulit untuk jalan. Motor dan mobil ada di mana-mana terjebak macet oleh genangan air. Hujan mulai kembali deras, namun saya sendiri terlindungi oleh payung besar yang dibentuk oleh jalan layang di atas. Kesal dan pegal mulai mendera, motor dan mobil berdempetan, udara begitu lembab. Hati mulai tidak enak karena tentu saja harus mengejar jadwal masuk kantor yang telah ditetapkan. Namun apa daya, genangan ada di mana-mana, motor dan mobil ada di mana-mana dan ternyata mobil dan motor susah majunya. Daripada terjebak dengan keadaan yang mengesalkan, akhirnya saya mulai memperhatikan lingkungan sekitar yang dilalui, ternyata ada beberapa hal yang menjadi perhatian. Mulai dari orang yang menggunakan jaket Bike To Work tapi menggunakan motor, ada yang menggunakan motor tanpa menggunakan alas kaki apapun, ada yang terus-terusan membunyikan klakson, ada yaang motornya masuk lobang sehingga hampir terjatuh, ada orang yang naik sepeda terjatuh, ada motor yang mogok, ada yang menyanyi di dalam mobil, ada pejalan kaki melongo melihat banjir di mana-mana dan beberapa kejadian lainnya. Tak terasa motor saya sudah di depan kantor. Waktu menunjukkan pukul 09.20 WIB Hidup yang saya rasakan ternyata lebih enteng dengan menjadi subjek padahal hari ini saya menjadi objek penderita kemacetan karena bajir. Tinggal menyikapi, menjadi subjek seperti apa yang kita inginkan agar hidup kita lebih enteng.

Ahh...

Pukul 17.30 saya tinggalkan kantor. Di bulan Januari ini ternyata matahari masih menampakkan diri di pukul itu, kebetulan seharian tidak ada hujan, padahal hari kemarin hujan turun seharian dan menggenangi banyak daerah di Jakarta. Saya sendiri akhirnya mengambil jalan yang sangat jarang dilalui jika pulang menuju kosan, yaitu melalui Danau Sunter, hanya karena ingin melihat matahari menebarkan cahayanya di danau serta ingin merasakan ketenangan yang diberikan oleh danau. Banyak orang duduk di pinggir danau, ada yang berjalan kaki, naik sepeda, yang paling banyak adalah pengguna sepeda motor, sama seperti saya. Sepertinya mereka semua ingin menikmati bius tenangnya Danau Sunter. Ternyata banyak juga orang memancing di danau itu, entah ada ikannya atau tidak, yang pasti sepertinya mereka tidak berharap banyak, yang mereka harapkan adalah ketenangan hati ketika memancing. Penjual kaki lima dan warung bertebaran di pinggir danau, mulai dari yang menjajakan sekedar minuman sampai dengan rumah makan, menjadikan pinggiran Danau menjadi alternatif bagi siapa saja yang lewat untuk beristirahat sejenak sambil menikmati minuman yang dijajakan. Riak air yang dihasilkan dari tiupan angin benar-benar memberikan pemandangan yang indah, kilau yang dipantulkan sinar matahari memberikan kesan mendalam. Sepuluh menit cukup untuk memberikan kesan bagi diri. Dan akhirnya saya pulang. Dari lurusan jalan Danau Sunter akhirnya motor diarahkan menuju ke arah Hotel Sunlake dan langsung pulang ke tempat tinggal. Kendaraan hanya dipacu kira-kira 30 kilometer perjam, santai. Di tengah perjalanan ketika tepat belokan pertama dari jalan Danau Sunter, ketenangan saya mengendarai motor, dikejutkan teriakan ”Ahhhhh.....” Seorang bocak berteriak Bocah kecil botak itu kira-kira berumur 7 tahunan, sedikit kumal pakaiannya, berteriak dari atas sepedanya yang berhenti, memandang ke arah tengah jalan yang baru saja dilewati oleh sebuah mobil. Dan ternyata di situ terdapat satu bungkus Indomie gepeng, remuk dan isinya sedikit berhambur terlindas mobil tadi. Dalam santai sambil mengendarai sepeda motor saya melihat kesedihan di mata anak itu. Beberapa meter dari bocah laki-laki tadi ada perempuan seumur dia yang menggunakan sepeda juga berhenti sambil menatap Indomie tadi, wajahnya menggambarkan kekecewaan. Di stang setir sepedanya saya lihat terdapat kantong plastik besar berwarna merah bening berisi banyak Indomie. Dugaaan saya, Indomie itu jatuh dari kantong plastik sepedanya. Apakah mereka berdua disuruh orangtuanya untuk berbelanja Indomie atau disuruh membawa plastik Indomie dari rumahnya, saya tidak tahu. Sepertinya Indomie tersebut mereka akan jual di pinggir danau... Mungkin bagi kita kebanyakan apalah arti sebungkus Indomie, entahlah bagi mereka berdua....

Rabu, 07 Januari 2009

Riak Air

Akhirnya, setelah pukul 21.00 WIB air hujan tak turun barang setetes pun. Maka pulanglah diri ini menggunakan si Jalu, motor kesayangan. Katanya hujan dimulai kira-kira pukul 19.00 WIB, saya tidak mengetahuinya, waktu itu saya sedang berjibaku dalam permainan tenis meja di lantai satu kantor. Tak terdengar setetes pun air hujan turun. Di pukul 20.00 WIB ketika telah kelar berjibaku, pulanglah saya.Ternyata hujan masih turun, sehingga saya urungkan niat untuk pulang, menunggu awan tak sanggup meneteskan lagi airnya. Dan menunggulah saya. Pukul 21.00 WIB, saya keluar dari area kantor, langsung terkejut, sudah ada genangan air rupanya di depan kantor, kira-kira semata kaki lebih tingginya. Secepat inikah air berkumpul, hanya kira-kira tidak lebih dari dua jam hujan turun, air telah menampakkan kekuatannya. Berjalanlah si Jalu menembus genangan air dengan penuh riak di sana sini. Jalan tersendat. Sebelum pertigaan yang mengarah ke kantor pusat Astra, terdapat gerombolan orang-orang, terdapat beberapa orang polisi, beberapa orang ABRI, dan yang mengejutkan terdapat mobil pemadam kebakaran terparkir di kerumunan itu di pinggir halte bis sebelum belokan ke kantor pusat Astra. Di suasana udara dingin selepas hujan dan masih banyak genangan, mobil pemadam kebakaran menampakkan kegagahannya, sungguh aneh. Lewatlah saya di kerumunan itu, semua orang tertuju kepada parit yang ada di di pinggir dan di bawah halte. Airnya banyak dan meluap, karena hujan besar yang baru usai. Di pinggir kerumuman saya lihat ada seorang ibu yang sedang ditenangkan hatinya oleh seorang wanita muda. Ibu itu duduk bersimpuh di bawah tegel halte, menangis tersedu, memejamkan maja. Saya trenyuh melihatnya. Saya berhenti barang sejenak untuk bertanya, apakah gerangan yang terjadi? Saya Tanya pada seorang bapak yang kebetulan sedang melihat ke gerombalan yang sedang sibuk melihat ke arah parit yang luber airnya. “Ada apa Pak?” ujar saya, “Ada anak kecil tenggelam di parit kecil itu.” Ujarnya sambil menunjuk parit yang airnya. Serta merta hati ini langsung terpaku menatap ibu yang duduk bersimpuh lunglai di tegel itu. Akankah ia ditinggalkan oleh anaknya malam itu. Memang tak habis pikir, parit kecil itu dapat menghanyutkan seorang anak, namun apa daya jika air telah memperlihatkan kekuatannya. Tak kuasa melihat ibu itu, saya langsung teringat akan si kecil di rumah. “Ibu dede lagi apa?” ujarku, “Udah tidur kok, barusan,” istriku menyahut di HPku. Takdir selalu akan menemui kita di mana pun, kapan pun. ..