Minggu, 31 Agustus 2008

Samakah kakekku dengan anakku ?

Sama, Barang tentu mereka sedarah, ia sama darahnya. Mata, hidung, kulit, gigi, dan segala yang ada ditubuh adalah buyut cicit. 99 tahun dan 1 tahun merupakan paduan yang sempurna. Buyut cicit. Buyut karena ia adalah kakekku, ayah bapak ku. Cicit karena ia adalah anakku, cucu bapak ibuku. Sama, Buyut sedang meraih hidup yang sempurna, cicit sedang membangun hidup yang sempurna. Sama, Buyut sedang menyelaraskan inderanya dengan alam, cicit sedang menyelaraskan inderanya dengan alam. Sama , Buyut sedang menyeimbangkan badannya dengan alam, cicit sedang menyembangkan badannya dengan alam Sama, Buyut sedang berusaha memijakkan dan menyeimbangkan kakinya dengan alam, cicit sedang berusaha memijakkan dan menyeimbangkan kakinya dengan alam Cicit, kecilku menyelaraskan, menyeimbangkan segala ada di dalam dirinya dengan alam. Sekarang ia telah mulai melangkahkan kakinya sambil membetangkan tanganya menuju ke depan, tanpa henti. Untuk menyeimbangkan dirinya dengan alam… Nak, selalulah kau imbangi alam ini dengan dirimu… Layaknya buyutmu yang telah menyeimbangi alam ini selama 99 tahun.

Minggu, 24 Agustus 2008

Debu

Terburu-buru saya mengejar untuk bertemu seseorang yang sangat penting, sehingga setelah ada kerjaan kantor yang sudah kelar di Cibubur, langsung menuju tempat yang telah disepakati. Ngobrol dengannya berkaitan dengan proyek besar. Yunus, ya Yunus yang akan saya temui sore ini. Ia sangat, sangat penting bagiku. Tentu di sebuah tempat ngopi yang kita sepakati. Rencananya, ia akan menceritakan mengenai proyek yang telah diselesaikan, dan katanya ia akan teruskan mencari proyek-proyek yang lain. Datang pukul 14.00, tepatnya di sebuah mall yang besar, di sudut tempat kopi. Jangan kau pikirkan kedai kopi biasa yang saya kunjungi. Ini kedai kopi yang sekarang lagi menjamur di kota besar. Yang tukang kopinya jika menyapa kita campur bahasa Inggris, dan bukan tukang kopi lagi sekarang namanya, tapi Barista katanya. Tak apalah, saya ketemuan di tempat ngopi modern seperti ini, demi menghormati temanku yang benar-benar penting. Saat di tempat ngopi, celengak celinguk mencari temanku itu, tapi ternyata ia belum tampak. 15 menit saya tunggu, ia tetap belum juga tampak. Ia hanya ngomong sebelumnya, “Tak mungkin kau hubungi aku dengan HP, mustahil”. Ya sudah, saya pasrah saja tanpa bisa menghubunginya. Tidak tahan menunggu, sehingga saya memutuskan pesan dulu kopinya, toh nanti kalo ia datang, ia juga akan pesan kopinya. Bukannya egois, hanya untuk duduk terlebih dahulu agar tidak pegel, karena dengan pesen kopi, saya bisa duduk. Mana ada sih di kota sekarang yang gratis untuk duduk, apalagi duduk di kursi empuk, pake AC, menghirup aroma Arabica murni sambil liat yang seger-seger lewat. Saya pesen Mochacino panas, “Large”, ujarku mantap. Terbayang aroma Arabica di campur dengan coklat dan susu pilihan. Sudah selesai mas, silakan diambil, ujar om Barista. Harumnya mendesak hidung langsung menuju saraf perasa. Dan saya baru sadar, hari ini kan hari Minggu, pantesan tempat ini penuh, tak keliatan satu sofa pun yang kosong. Syukurlah, akhirnya aku menemukan tempat buat duduk, sayangnya di luar. Tak ada pilihan lain, aku pun keluar memilih tempat duduk yang bisa untuk berdua. Mudah-mudahan Yunus sudi duduk diluar. Duduklah saya di kursi yang bukan sofa, namun kayu. Walau bukan sofa, ergonomis juga kursinya. Udara di luar terasa bersliweran, dan beberapa mobil ada yang lewat di pinggir saya, karena memang letak tempat duduknya pas di lobi pinggir area depan mall. Akhirnya ia datang, ya Yunus datang dengan pakaian khusus seperti biasanya, seperti orang Bangladesh umumnya, menggunakan rompi tipis warna krem. “Ah, kau datang juga temanku, saya pesankan kopi ya?”, Ujarku. Ia menggeleng, “Gak usah repot, dan juga kau kan tahu aku gak bisa minum jika kondisinya seperti ini. “Sudahlah, kau kan mau dengar aku sharing, tahukah kau, proyekku dimulai ketika itu aku melihat kemiskinan melanda Bangladesh, aku benar-benar merasa hampa, karena sebagai dosen di Bagladesh aku sulit mengajarkan teori ilmu ekonomi canggih di tengah-tengah Bangladesh yang diliputi kemiskinan…” Saya syok, setelah 1 menit kurang, tanpa disadari tak sengaja saya sentuh permukaan buku ini, ternyata penuh dengan butiran halus dan kasar, penuh dengan debu, dan tanpa mempedulikan Yunus aku coba buka satu halaman lagi dan menunggu selama 1 menit, ternyata benar, debu cepat menempel di permukaan buku. Panik. Dalam waktu yang cepat debu datang tanpa diundang. Langsung saya sruput Mochacino yang tersisa yang sepertinya telah tercampur debu, bergegas masuk ke dalam mall meninggalkan Yunus yang hanya melongo, melihat kepergian saya. Sori bos, nanti kita lanjutkan ngobrolnya di kosan, aku tutup dulu ya. Weleh, sudah parahkan alam ini, ujarku dalam gegas. [Sesaat setelah menunda membaca buku “Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan” karya Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006] Jakarta, 24 Agustus 2008. Hill

Selasa, 19 Agustus 2008

OBOR

Sekitar 15 tahun lalu, diri inilah yang ditonton, berbaris, meneriakkan yel-yel yang membangun serta menghibur bagi siapa saja yang menonoton dan yang dilewati. Setiap yang terlewati terpaku, tersenyum bahkan ada meneriakkan kembali apa yang kami teriakan. Inilah kegiatan malam menjelang 17 Agustus. Saat ini, tanpa terasa, setelah begitu lama tidak datang ke tempat kelahiran, di malam 17 Agusutus, sayalah yang menonton, melihat mereka berbaris, meneriakan yel, serta bergaya sambil membawa sesuatu yang berharga, OBOR SEMANGAT. Sama seperti saya, bagi kebanyakan orang pun, sepertinya malam itu merupakan suatu hiburan belaka, melihat pawai obor berjejer memanjang bak aliran lava tanpa henti. Namun setelah beberapa waktu ketika pawai masih sedang berjalan, saya mulai beralih melihatnya dari segi lain. Melihat yang ditonton oleh penonton. Melihat apa yang sebelumnya saya tidak pernah lihat dan pikirkan. Entah siapa penggagas kegiatan seperti ini, pastilah ia atau mereka menginginkan sesuatu persembahan yang berharga bagi 17 Agustus serta yang berjuang untuknya. OBOR SEMANGAT, mungkin itulah yang mereka harap dari kegiatan ini, untuk terus memperjuangkan apa yang selayaknya diperjuangkan bagi bangsa ini. Semangat yang tidak padam di tengah jalan, semangat yang terus menyala, mengibarkan apa yang selalu di cita-citakan oleh Negara ini. Semangat untuk terus menghalau pesimis yang selalu didengungkan media akan bangsa ini. Semangat menghancurkan keletihan jiwa raga yang kadang mengendap dalam diri. Begitulah ia, OBOR SEMANGAT yang ingin dikobarkan dan selalu dikobarkan setiap tahun menjelang 17 Agustus, mereka faham, perlunya manusia selalu diingatkan. Dan dari diri inilah semangat dimunculkan. Mudah-mudahan dengan dimulai dari diri ini, kita dapat memberikan kontribusi bagi Negara walau hanya sedikit. Walau hanya sedikit. Dirgahayu bangsaku, dirgahayulah ibu pertiwi. 63.