Kamis, 30 Oktober 2008

3000

Di tempat kedatangan, seperti di bandara, stasiun kereta, stasiun bis, terminal angkot, setelah melakukan perjalanan pastilah ada yang menyambut kita ketika sampai di tempat tersebut. Jikalah kita datang dari jauh, tentulah saudara dekat akan menyambut dengan cara menjemput, misal ketika datang dari luar negeri, datang dari kota yang jauh di luar pulau atau lainnya. Namun jika kita simak lagi, banyak sekali penjemput-penjemput lainnya yang ingin sekali mengantarkan kita ke tempat tujuan, misal, di Bandara, banyak sekali ‘penjemput’ yang siap menyambut kita, tengok saja ada supir taksi, supir mobil omprengan dan lainnya. Di stasiun kereta api pun demikian, banyak taksi maupun ojek siap ‘menjemput’ kita. Kemudian di stasiun bis, ada taksi, angkot, becak, bemo, ojek dan lainnya juga siap ‘menjemput’ kita. Dan tentunya penjemput yang disebutkan belakangan rela mengantarkan kemanapun tempat yang dituju asal kita dapat membayar mereka dengan harga yang pantas. Saya sendiri karena keluarga masih di kampung halaman, hampir tiap minggu menggunakan kereta api menuju Cirebon, kemudian dari stasiun tersebut, perjalanan akan diteruskan sampai ke kampung. Dengan menggunakan kereta api setiap minggu pastilah di stasiun akan bertemu para ‘penjemput’ yang dengan sungguh-sungguh mengantarkan saya dari stasiun ke tempat yang ingin dituju. Ketika keluar dari stasiun kereta api, biasanya di mulut jalan keluar telah berjejal ‘penjemput’ yang begitu antusias meminta agar mereka dijadikan penjemput oleh kita, mulai supir taksi, tukang ojek, tukang becak sampai dengan sopir mobil omprengan, saking antusiasnya, seringkali terjadi ‘kemacetan’ manusia di tempat keluar tersebut. Kebetulan hari itu saya akan dijemput (arti sesungguhnya), karena waktu kedatangan larut malam kemudian kendaraan ke kampung halaman akan sulit didapat di malam hari. Di lorong tersebut, saya beberapa kali menolak ‘penjemput’ yang menawarkan kendaraannya, beberapa tukang becak menawarkan jasanya dengan sungguh sungguh bahkan dengan nada memaksa. Setelah beberapa belas meter berjalan keluar, ada seorang tukang becak yang terus menerus mengikuti dan menawarkan jasanya. Usianya kira-kita udah 60 tahunan, hal ini terlihat dari raut wajah serta badannya yang kelihatan sudah tidak muda lagi, dan banyak kerutan di sana sini. Saya tetap terus menolak jasanya dan dikatakan saya akan dijemput, namun ia bertahan dan terus berjalan mengikuti langkah saya, sampai ia keluarkan kata “Gak apa-apalah mas tiga ribu aja, saya anterin,” ujarnya membujuk, namun tetap saya berjalan hingga akhirnya ia pun pergi. Setelah berjalan berpuluh langkah ke depan, saya berhenti memikirkan hal yang baru saja diucapkan pak tua tadi, dan langsung berpaling, ingin rasanya memberikan sejumlah uang yang pak tua tadi sebutkan, bukan maksud sombong dan merasa banyak uang, namun hanya ingin membantu, sepertinya ia benar-benar kesulitan, sampai rela dibayar 3000 ke mana pun arah yang mau di tuju, namun niat itu tidak kesampaian karena ia telah menghilang kembali mencari jemputan lain dalam keramaian stasiun. Dipikirkan lebih mendalam, betapa hidup ini begitu berarti, karena di luar banyak sekali sesuatu yang benar-benar membuat kita berpikir bahwa kita memiliki banyak hal yang telah diberikan oleh-Nya. Ternyata, di tempat manapun, terdapat banyak pelajaran yang berharga bagi hidup ini.

Kamis, 16 Oktober 2008

Merasakan

Di pagi yang sejuk setelah semalam turun hujan, telah sepakat dengan dengan istri, pagi itu si kecil rambutnya akan digunduli, sudah satu tahun setelah ekahan belum satu kali pun rambutnya di pangkas habis, alasannya sederhana, agar tumbuh rambut yang lebih bagus. Ketika tukang cukur yang kebetulan masih tetangga didatangkan, semuanya tampak biasa saja, tak ada hal yang membuat si kecil takut. Namun, ketika pisau cukur otomatis menyapu rambutnya, tangisnya meledak sejadi-jadinya, jadilah suasana berubah tak menentu, ia menangis terus ketika sedang digunting rambutnya, menangis sekencang-kencangnya, sampai keringatnya bercucuran. Seguk tangisnya bersama dengan diangkatnya kepala berulang kali menandakan ia merasa tersiksa. Di tengah tangisnya, muncul tangisan baru, sepupunya yang berusia 4 tahun ikut pula menangis, ia berkata kepada ibunya, kakak istriku, “Kasian dede, jangan diterusin menggunting rambutnya,” ujarnya iba. Sekecil itu sudah merasakan kesedihan saudaranya, menjadikan kita yang telah dewasa tersenyum melihat keponakanku menangis karena alasan tersebut. Namun setelah dipikirkan lebih dalam ternyata itu sebenarnya salah satu fitrah manusia, yaitu merasakan penderitaan sesamanya. Dan ternyata, tidak ada batasan usia bagi manusia tentang fitrah saling merasakan penderitaan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita melihat sesuatu bencana atau kesedihan yang menimpa manusia, fitrahnya, kita merasakan bagaimana penderitaan mereka ketika tertimpa musibah, dan tentunya jika benar-benar meresapi lagi maknanya, maka kita tidak hanya merasakan saja, melainkan juga melakukan tindakan untuk membantu membebaskan penderitaan mereka yang tertimpa musibah. Sikap peka terhadap penderitaan orang lain inilah yang sulit dipelihara oleh manusia, kadang saya pun demikian, benar-benar tidak sadar atau mungkin tidak peduli dengan keadaan sesama. Hal ini terjadi mungkin disebabkan karena mulai terbelenggu oleh dunia, sehingga ego mementingkan diri sendiri serta sifat negatif muncul begitu kuat dibandingkan ego fitrah yang kita miliki. Sebenarnya agama telah banyak memberikan solusi mengenai hal ini, mulai dari memberikan sebagian rizki yang kita miliki, menolong saudara yang mengalami kesusahaan, puasa dan sebagainya. Namun itu tadi, kadang kita lupa karena dunia telah membelenggu kita…

Praktis

Benar juga apa yang dikatakan orang pintar, bahwa manusia itu dalam hidupnya selalu berpegang pada dua hal, mengejar kebahagiaan dan menjauhi kesengsaraan. Kalaupun ada orang yang menginginkan kesengsaraan, tujuan akhirnya pastilah ingin mencapai kebahagiaan. Praktek ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan mencakup segenap aspek kehidupan, mulai dari hal yang remeh temeh sampai hal yang tidak remeh temeh tentunya. Dan dalam proses mencari kebahagiaan itu (termasuk kesenangan di dalamnya), manusia selalu melakukan perbaikan di sana sini, dengan tujuan agar apa yang dilakukan atau yang dijalankan menjadi lebih mudah, praktis, murah, lebih baik, cepat, lebih nyaman, lebih menyenangkan dan lainnya. Sayangnya dalam proses perbaikan sana sini, manusia sering diliputi oleh nafsunya, walaupun tujuan akhirnya tercapai namun ada saja yang dikorbankan atau dapat merubah suatu kultur yang sebelumnya ada. Contoh, ketika manusia capek berjalan kaki, ketika mereka bepergian jauh, maka secara kreatif, manusia membuat suatu alat atau media yang dapat membawanya ke tempat jauh dengan lebih mudah sekaligus cepat dan kalau bisa sekaligus nyaman. Mulai dari dokar, sampai mobil mewah, bahkan pesawat supersonik mereka buat. Dan tentu saja ada yang dikorbankan dalam membuat karyanya ini, ada pengorbanan yang lebih besar dibandingkan dengan hasil, lebih kecil pengorbanannya, bahkan mengkin juga tidak perlu pengorbanan. Dan banyak lagi contoh yang lainnya. Di lebaran yang belum lama kita lalui, ada hal yang menarik saya untuk mengulasnya, walaupun memang remeh temeh, namun impaknya mengubah sedikit budaya masyarakat. Dalam suasana lebaran, seperti biasa kita saling mengunjungi satu sama lain, nah, ternyata saya sudah tidak melihat lagi suguhan teh atau air putih dalam gelas ketika berkunjung ke tetangga ataupun kerabat ,walaupun memang tidak mengharapkan, yang ada adalah suguhan air dalam gelas plastik, dan itu hampir ada di setiap rumah yang saya kunjungi. Ke depan kita mungkin akan jarang menikmati teh hangat yang disuguhkan oleh tetangga, kerabat atau siapapun yang kita kunjungi, karena telah diganti oleh air putih, air teh, air sirup, dan air-air lainnya dalam kemasan plastik. Karena lebih praktis dan mudah..

Selasa, 07 Oktober 2008

Terbagi

Begitulah ia, Tercipta ketika terbagi, Terbagi kepada siapapun, kepada apapun ----- Hal itu terasa, Terasa ketika ia terbagi… Kepada siapapun, kepada apapun ---- 29 atau genap 30, Semua untuk mengejar dan memperoleh, Suatu predikat. Predikat yang hanya dapat diukur oleh-Nya ---- Di akhir... Semua terasa indah dan lengkap, Biru jika merasa menggapai predikat ---- Jikalah rasa saja sudah indah kala menggapai predikat, Bagaimana kalau ia dibagi, Ya ....dibagi ---- Rasa itu dibagi, Kepada siapapun dan apapun, Bila ia terbagi, maka Bahagia terpendar ---- Bagilah bahagiamu, Bagilah bahagiamu, Agar bahagiamu menjadi nyata.....dan tercipta ---- Bagilah bahagiamu di hari nan fitri itu kepada siapapun dan apapun, Karena.. Kamipun akan rasa bahagiamu ---- ---- Selamat merayakan kebahagiaan, Ied nan fitri Hilman