Senin, 24 Maret 2008

Nasib

Saya tidak membayangkan bisa menyekolahkan anak seperti sekarang ini, ujar ia lirih penuh dengan kebanggaan. Di kereta sore itu saya tidak sengaja duduk dengan bapak tua yang naik dari Jatibarang, sedangkan saya naik dari Cirebon, kita akan menuju Jakarta. Percakapan di mulai dengan Suharto yang meninggal hari itu, ia hanya bergumam, seharian saya tidak lihat televisi, saya sedang asik mengopeni bebek seharian, baru tahu tadi lihat sebelum berangkat ke stasiun. Dan mulailah pembicaraan berkembang kesana kemari, diiringi sedikit tawa jika keluar hal lucu dari mulutku atau mulutnya. Ia setiap minggu hilir mudik dari Tangerang ke Jatibarang, kerja di Tangerang, di bengkel skala menengah, dan akhir pekan bertemu keluarga di Jatibarang. Belasan tahun lalu, ia memboyong istrinya ke Tangerang, dengan modal bekerja di bengkel ia nafkahi istri dan kedua anaknya. Ketika anaknya akan masuk SD ia tertegun, biaya yang harus dikeluarkan di kota Tangerang untuk menyekolahkan anaknya tidaklah cukup hanya dari bengkel, benar-benar berat, ia tak bisa membayangkan bagaimana nasib kedua anaknya kelak. Ia hanya bisa termenung. Akhirnya, pokoknya pekerjaan apapun ia lakukan untuk menyekolahkan anaknya, disela bekerja di bengkel, ia mencari tambahan, mulai dari mengumpulkan sampah botol plastik ataupun kardus, pinjam cangkul ke tetangganya untuk menggarap tanah kosong dan sebagainya. Saya tidak sanggup kala itu, matanya berkaca-kaca, mengingat masa lalu. Namun ternyata nasib berubah, istrinya yang kala itu menganggur diterima bekerja sebagai pegaawai negeri di kampung asalnya, Jatibarang. Dan akhirnya istrinya memboyong kedua anaknya ke kampung halaman, sementara ia tetap tinggal di Tangerang. Dan begitulah, setiap minggu ia hilir mudik Tangerang Jatibarang, sudah puluhan tahun. Dan sekarang ia telah menjadi mandor di bengkel tersebut. Jika pulang kampung, ia senang jalan-jalan di kampungnya menyusuri sawah serta mengopeni bebek yang ia pelihara. Saat ini beliau dan istrinya tengah menyekolahkan dua anaknya di universitas dan satu di sekolah menengah. Beliau hanya berkata, dalam hidup ini jika kita baik, alam akan baik kepada kita. Ini mas ada makanan kecil, istri saya selalu membawakannya jika mau ke Tangerang, buat mengganjal perut...

Rabu, 05 Maret 2008

Kontribusi

Semakin dia disanjung, semakin dia memberikan kontribusi besar pada dunia, pada lingkungan, pada masyarkat sekitar, pada keluarganya, pada dirinya. Kontribusi yang dia bangun, tidak hanya kontribusi positif melainkan juga kontribusi negatif. Namun apalah artinya memberikan kontribusi negatif, karena hal tersebut akan merendahkan kita di mata orang lain. Lihatlah orang-orang yang namanya harum semerbak, selalu dikenang sebagai pahlawan bagi orang lain dan dijadikan contoh bagi kehidupan, cerita-cerita mereka diabadikan dalam sebuah tulisan, drama, puisi, film, bahkan cerita legenda. Indah sekali rasanya bila diaggap sebagai pahlawan, apalagi ketika kita masih hidup sudah dianggap pahlawan oleh orang banyak. Pencarian sosok pahlawan atau panutan seringkali kita lakukan sebagai manusia untuk mencari kira-kira laku lampah mana yang baik yang dapat dijadikan acuan kita dalam berlaku. Saking getolnya kita mencari sosok itu, hingga lupa kepada diri sendiri. Padalah banyak suara bijak berbisik bahwa setiap manusia mempunyai kelebihan yang tak bertepi, unlimited. Sehingga kita sebagai manusia dapatlah menjadi pahlawan. Minimal pahlawan bagi dirinya. Negara kita saja memperdebatkan siapa-siapa yang berhak menyandang gelar tersebut, ah, ngapain mikirin hal itu, yang pasti saya hanya merasa ada satu syarat yang musti dilakukan agar kita layak diberikan gelar pahlawan, yaitu memberikan manfaat bagi orang lain. Dengan melakukan hal tersebut selayaknya kita dapat menjadi pahlawan. Sangat mudah. Bahkan sebuah bintang kecil pun bersinar dalam kegelapan (Pepatah Finlandia)