Selasa, 18 Agustus 2009

Bubur Ayam

Di tempat kerja, terdapat bagian yang salah satunya adalah menangani komplain pelanggan. Seringkali bagian tersebut menerima komplain dari pelanggan, mulai dari komplain biasa, sampai dengan komplain yang serius. Beberapa rekan yang baru bergabung di tempat tersebut beberapa kali dibuat shock oleh sikap dan kata-kata pelanggan, bahkan seringkali merasa tertekan bila menerima komplain pelanggan, terutama komplain serius. Beberapa rekan sampai merasa tertekan ketika dimarahi oleh pelanggan di telepon. Namun dengan berjalannya waktu, rekan-rekan di tempat tersebut mulai secara reguler menangani komplain pelanggan, sehingga sedikit demi sedikit persepsi terhadap pelanggan mulai berubah. Suatu pagi, seorang rekan memperoleh komplain pelanggan yang serius, di telepon, pelanggan menyampaikan komplainnya dengan marah-marah, rekan saya dengan serius menangani komplain tersebut dengan menyimak apa yang dikatakan oleh pelanggan. Setelah selesai menerima komplain, ia kemudian berbicara kepada yang lainnya “ Wah, pagi ini saya mendapat sarapan bubur ayam, saya menerima komplain serius dari pelanggan.” Ujarnya. Sontak yang lainnya pada tersenyum mendengar kata bubur ayam tersebut. Dan sejak itulah kata bubur ayam menjadi kata pengganti jika terdapat komplain pelanggan, baik itu komplain yang terjadi ketika di pagi hari, di siang hari, ataupun di sore hari. Setiap menerima komplain, rekan saya akan memberitahukan kepada yang lainnya bahwa ia menerima bubur ayam. Bila terdapat komplain yang serius ditambah pelanggan yang marah-marah serta meminta hal yang macam-macam, biasanya rekan saya akan bilang bahwa ia menerima bubur ayam special. Begitulah seterusnya, rekan-rekan di tempat tersebut dalam menerima komplain tidak lagi khawatir, selain telah terbiasa menangani komplain, juga suasananya dapat dicairkan dengan adanya percakapan mengenai bubur ayam. Dan bagaimanakah jika menerima komplain yang serius yang butuh penanganan ekstra, sehingga penanganan komplain tidak hanya dapat diselesaikan oleh seorang saja, semua tim di tempat tersebut akan berkata, “ Mari kita bersama-sama makan bubur ayam specialnya.” Kehidupan semakin indah dan mudah bila kita melihat dari sudut pandang yang lain.

Menghormati Dengan Memberi

Dari sejak dulu, entah kapan, setiap tamu yang datang ke rumah selalu ditawari bersantap bersama oleh Bapak, baik itu pada saat jam makan ataupun tidak. Ibu sendiri tidak keberatan dengan hal ini, namun kadang-kadang sebenarnya juga merepotkan, karena jika pas tidak ada makanan di dapur, Ibu sering pontang panting untuk menyiapkan makanan dengan memasak terlebih dahulu, biasanya dicari masakan yang sederhana, karena memang harus buru-buru. Di rumah, Bapak dan Ibu memang senang sekali mengajak tamunya bersantap bersama, walaupun mereka sendiri sebenarnya masih kenyang. Sepertinya ada kepuasan sendiri bagi Bapak dan Ibu ketika mereka dapat menghormati tamu dengan memberi sesuatu walaupun dengan cara sederhana. Azim Jamal dan Harvey McKinnon dalam bukunya Power of Giving, bertutur bahwa di Afghanistan, setiap kali Azim bertamu ke keluarga di sana, keluarga penghuni rumah akan menawarkan makanan terbaik mereka kepadanya. Azim tahu, bahwa orang-orang Afghanistan tidak punya cukup makanan untuk perut mereka sendiri, apalagi makanan ekstra untuk tamu. Akan tetapi sudah adat mereka menyuguhi mehman [tamu] di rumah mereka. Janganlah asal mengucapkan keinginan ketika bertamu di rumah orang Afghanistan, kata Agustinus, seorang backpacker Indonesia yang pernah merasakan penghormatan orang-orang Afghanistan, karena permintaan tamu adalah hal yang sangat penting bagi mereka untuk ditunaikan. Bagi orang Afghan, menerima serta melayani tamu bukanlah urusan main-main. Lain lagi di India Utara, Robin Sharma bertutur dalam Greatness Guide, bahwa di India Utara, tamu adalah ‘dewa’. Tamu diperlakukan dengan penuh hormat dan cinta. Tamu harus dipastikan dijamu dengan baik, meskipun berarti tuan rumah sendiri tidak makan. Mereka begitu bangga bila menghormati tamu dengan memberi apa yang mereka punya. Bagaimanakah dengan kita? apakah dalam hidup dan organisasi bisnis kita, tamu dihormati dan dihargai layaknya seperti ’dewa’ ? Mudah-mudahan hal tersebut merupakan salah satu hal yang menjadi budaya kita dalam hidup ini. Indahnya bila kita melayani dan menghormati tamu atau orang yang tidak kita kenal yang datang ke rumah kita. Indahnya bila setiap pelanggan yang datang ke tempat organisasi bisnis kita diperlakukan dengan hormat. Rasanya bila kita terapkan hal tersebut, hidup kita akan sangat bermakna.

Kamis, 21 Mei 2009

Menyimak daripada Mendengar

Uang yang tersisa di dompet tinggal 20 ribu, sementara rekan-rekan kantor mengajak makan siang di luar, tentu saya perlu mengambil uang terlebih dahulu di ATM, namun alangkah terkejutnya ketika sudah sampai di depan mesin ATM, saya tidak menemukan kartu ATM di dompet. Sekali lagi saya cek keberadaan kartu ATM di dompet, namun tetap saja tidak saya temukan. Akhirnya saya berusaha untuk mengingat-ingat kembali dimanakah gerangan kartu sakti tersebut menghilang, mulai dari mengingat-ingat penggunaan terkahir kartu tersebut, sampai dengan pencarian di berbagai tempat yang kira-kira dapat ditemukan kartu tersebut. Hasilnya tetap nihil. Kartu tersebut tetap tidak ditemukan, padahal itu adalah satu-satunya kartu ATM yang saya miliki, karena memang saya tidak membuka rekening di bank lainnya. Wah jadi repot nih, harus mengurus kartu yang baru ke Bank. Bagaimana dengan makan siangnya ? tentunya jadi, karena akhirnya saya meminta dana talangan kemanusiaan (minjem uang) kepada rekan saya. Namun saya memerlukan uang cash tidak melulu untuk keperluan makan siang, tapi juga untuk keperluan beberapa hari ke depan, sederhana saja, saya meminta lagi dana talangan kemanusiaan ke rekan saya. Dan saya berjanji dananya akan ditransfer ke rekening rekan saya oleh istri. Ketika sedang di area tempat makan yang dituju, saya tanyakan nomor rekening rekan yang dipinjami uangnya. Akhirnya ia menyebutkan nomor rekeningnya adalah 234 543 224, ia hafal di luar kepala nomor rekeningnya, kemudian saya tulis nomor rekeningnya di HP saya. “Oke, saya ulangi ya.. 23 45 43 22 4,” ujar saya. “Wah saya bingung, coba ulangi nomornya,” katanya. “Loh kan kamu hafal nomor rekeningnya, masa yang saya sebutkan tadi gak tahu,” ujarku. “Iya saya tentu hafal, tapi saya rada bingung ketika kamu menyebutkan nomor rekening tersebut, tata caranya tidak sama ketika saya menyebutkan nomor rekeningnya, ya udah saya sebutkan lagi nomor rekeningnya 234 543 224,”. “Ya, sudah sama dengan yang ditulis di HP” Ujarku “Saya sedikit aneh saja, mengapa saya sebutkan nomor yang sama tapi kamu kurang jelas, padahal nomornya udah di luar kepala,”. “Ya iya lah rada gak jelas, kamu menyebutkannya tidak sesuai dengan yang saya sebutkan tata caranya, saya sebutkan angkanya per tiga angka, kamu menyebutkannya per dua angka. Ini sebenarnya pelajaran,” ujarnya, “Maksudmu ?”, “Iya ini dapat diterapkan terutama ketika berhadapan dengan pelanggan, karena saya sering menangani inquiry (permintaan) dan komplain, maka saya berusaha untuk menyimak dengan baik apa yang dikatakan oleh pelanggan, tidak hanya didengarkan saja, dan ketika saya meminta konfirmasi mengenai pertanyaan, permintaan ataupun komplain yang diajukan, saya berusaha menggunakan kembali kata-kata pelanggan tersebut, dan kalau bisa tata cara pengucapannya sesuai dengan apa yang mereka katakan, agar tidak salah persepsi,” Ujar rekan saya. Saya manggut-manggut mendengar kata-kata rekan saya sambil siap-siap menyantap makan siang yang sudah tersedia di depan mata. Udang galah goreng, sambal mentah, acar timun bumbu kuning, ayam goreng…Hmmmm.

Minggu, 01 Februari 2009

Mencari

Rasanya saya tidak ingin terus menghabiskan kisah buku berjudul ‘Enrique’s Journey’ karangan Sonia Nazario yang dibaca tadi malam. Dari awal, buku yang merupakan kisah nyata [true story] ini telah begitu menyentuh jiwa kemanusiaan, sehingga memberikan gambaran bahwa kita patut bersyukur atas apa yang telah didapat dalam hidup ini. Novel yang diganjar oleh Pulitzer Award 2003 ini berkisah bagaimana para anak-anak imigran yang berasal dari Amerika Tengah, seperti Mexizo, Guatemala, Honduras dan lainnya berjuang untuk mencari ibunya yang bekerja di Amerika. Setiap tahun hampir lima puluh ribuan anak-anak pergi ke utara untuk mencari ibunya yang bekerja di Amerika. Ibunya sendiri telah beberapa tahun sampai belasan tahun sebelumnya meninggalkan mereka menuju Amerika untuk mempertahankan hidup serta untuk menghidupi keluarganya. Ibu mereka dengan terpaksa meninggalkan anak-anaknya, bahkan ketika anak mereka berusia satu bulan. Sonia yang seorang jurnalis kebetulan memiliki seorang pembantu rumah tangga bermana Carmen yang berasal dari Guatemala. Ia memilki empat orang anak yang ia tinggalkan karena ia harus menghidupi mereka semua. Di tahun 1998, anak pertama Carmen menyusulnya ke Amerika. Jiwa jurnalis Sonia tergugah untuk mengetahui hal ini. Mengenai bagaimana anak-anak mereka menyusul ibunya ke Amerika di usia sangat muda, belasan tahun, bahkan ada yang berusia 11 tahun. Anak-anak itu berani bertaruh dengan jiwanya melewati ribuan mil menggunakan kereta api barang. Untuk menemui ibunya. Di perjalanan, mereka akan menghadapi berbagai macam kesengsaraan, mulai dari perampok, pemerkosaan, kelaparan, udara dingin dan panas yang ekstrim, petugas perbatasan dan lainnya. Mereka lalui perjalanan dengan menggunakan kereta api barang berbulan lamanya. Mereka semua menyebut kereta api itu adalah El Tren de La muerte, Kereta api maut. Sonia sendiri kemudian mencari beberapa orang anak yang pernah menelusuri perjalanan ini untuk dijadikan nara sumbernya. Ia ingin mengetahui secara detail bagaimana mereka berjuang menghadapi perjalanan ini. Dan akhirnya ia menemukan seorang anak yang bernama Enrique, dari dirinyalah Sonia memperoleh banyak informasi mengenai perjalanan ini. Untuk mengetahui secara riil perjalanan ini, Sonia menempuh perjalanan ini sendiri selama enam bulan menghadapi mara bahaya yang mengancam. Dan lahirlah buku Enrique’s Jouney, sebagai bahan pembelajaran bagi kita semua bahwa kita masih beruntung dan patut bersyukur hidup seperti ini. Ibu, anakmu selalu menyayangimu.. Hill

Kamis, 29 Januari 2009

Objek Menjadi Subjek

Di luar, hujan besar telah reda, namun masih gerimis. Saya putuskan untuk berangkat ke kantor. Berangkat pukul setengah delapan dengan menggunakan sepeda motor dengan perlengkapan lengkap agar air tidak masuk. Perasaan saya, hari ini keadaaan jalan yang akan dilalui akan seperti kemarin, genangan di mana-mana, tingginya sekitar 15 cm. Maklum daerah yang akan dilalui menuju kantor melewati beberapa area genangan air. Selain daerahnya landai kemudian dekat dengan laut, Kantor yang akan dituju berada di daerah Sunter juga merupakan daerah yang jalannya banyak ditutupi beton di sana sini menutupi lalan. Jalan menuju kantor sebenarnya ada dua alternatif, lewat depan yang berarti mengikuti jalan tol di atasnya, dan lewat jalur belakang, menelusuri rumah penduduk. Dua-duanya pasti akan melewati genangan Dan benar dugaan saya, ternyata telah banyak genangan di mana-mana. Jalan alternatif yang menelusuri penduduk ternyata telah banyak tergenang air. Jalur ini adalah pilihan pertama, karena dilalui lebih awal. Ah susah juga kalau melalui jalur ini, karena kemarin juga saya melewati jalan ini direpotkan dengan harus menembus banyak genangan air. Akhirnya saya putuskan memilih jalur depan melalui jalur besar mengikuti alur jalan layang. Mudah-mudahan genangan tidak banyak dan kendaraan lancar. Dan tidak beberapa lama setelah melintasi jalur yang dipilih, saya dipertemukan dengan genangan air yang cukup banyak di dekat perempatan Coca Cola pinggir kantor Astra Honda Motor, namun air akhirnya dapat ditembus. Jalan masih lancar. Setelah sekitar 300 meter berjalan, ternyata jalan sudah mulai tidak lancar, dan kemudian benar-benar sulit untuk jalan. Motor dan mobil ada di mana-mana terjebak macet oleh genangan air. Hujan mulai kembali deras, namun saya sendiri terlindungi oleh payung besar yang dibentuk oleh jalan layang di atas. Kesal dan pegal mulai mendera, motor dan mobil berdempetan, udara begitu lembab. Hati mulai tidak enak karena tentu saja harus mengejar jadwal masuk kantor yang telah ditetapkan. Namun apa daya, genangan ada di mana-mana, motor dan mobil ada di mana-mana dan ternyata mobil dan motor susah majunya. Daripada terjebak dengan keadaan yang mengesalkan, akhirnya saya mulai memperhatikan lingkungan sekitar yang dilalui, ternyata ada beberapa hal yang menjadi perhatian. Mulai dari orang yang menggunakan jaket Bike To Work tapi menggunakan motor, ada yang menggunakan motor tanpa menggunakan alas kaki apapun, ada yang terus-terusan membunyikan klakson, ada yaang motornya masuk lobang sehingga hampir terjatuh, ada orang yang naik sepeda terjatuh, ada motor yang mogok, ada yang menyanyi di dalam mobil, ada pejalan kaki melongo melihat banjir di mana-mana dan beberapa kejadian lainnya. Tak terasa motor saya sudah di depan kantor. Waktu menunjukkan pukul 09.20 WIB Hidup yang saya rasakan ternyata lebih enteng dengan menjadi subjek padahal hari ini saya menjadi objek penderita kemacetan karena bajir. Tinggal menyikapi, menjadi subjek seperti apa yang kita inginkan agar hidup kita lebih enteng.

Ahh...

Pukul 17.30 saya tinggalkan kantor. Di bulan Januari ini ternyata matahari masih menampakkan diri di pukul itu, kebetulan seharian tidak ada hujan, padahal hari kemarin hujan turun seharian dan menggenangi banyak daerah di Jakarta. Saya sendiri akhirnya mengambil jalan yang sangat jarang dilalui jika pulang menuju kosan, yaitu melalui Danau Sunter, hanya karena ingin melihat matahari menebarkan cahayanya di danau serta ingin merasakan ketenangan yang diberikan oleh danau. Banyak orang duduk di pinggir danau, ada yang berjalan kaki, naik sepeda, yang paling banyak adalah pengguna sepeda motor, sama seperti saya. Sepertinya mereka semua ingin menikmati bius tenangnya Danau Sunter. Ternyata banyak juga orang memancing di danau itu, entah ada ikannya atau tidak, yang pasti sepertinya mereka tidak berharap banyak, yang mereka harapkan adalah ketenangan hati ketika memancing. Penjual kaki lima dan warung bertebaran di pinggir danau, mulai dari yang menjajakan sekedar minuman sampai dengan rumah makan, menjadikan pinggiran Danau menjadi alternatif bagi siapa saja yang lewat untuk beristirahat sejenak sambil menikmati minuman yang dijajakan. Riak air yang dihasilkan dari tiupan angin benar-benar memberikan pemandangan yang indah, kilau yang dipantulkan sinar matahari memberikan kesan mendalam. Sepuluh menit cukup untuk memberikan kesan bagi diri. Dan akhirnya saya pulang. Dari lurusan jalan Danau Sunter akhirnya motor diarahkan menuju ke arah Hotel Sunlake dan langsung pulang ke tempat tinggal. Kendaraan hanya dipacu kira-kira 30 kilometer perjam, santai. Di tengah perjalanan ketika tepat belokan pertama dari jalan Danau Sunter, ketenangan saya mengendarai motor, dikejutkan teriakan ”Ahhhhh.....” Seorang bocak berteriak Bocah kecil botak itu kira-kira berumur 7 tahunan, sedikit kumal pakaiannya, berteriak dari atas sepedanya yang berhenti, memandang ke arah tengah jalan yang baru saja dilewati oleh sebuah mobil. Dan ternyata di situ terdapat satu bungkus Indomie gepeng, remuk dan isinya sedikit berhambur terlindas mobil tadi. Dalam santai sambil mengendarai sepeda motor saya melihat kesedihan di mata anak itu. Beberapa meter dari bocah laki-laki tadi ada perempuan seumur dia yang menggunakan sepeda juga berhenti sambil menatap Indomie tadi, wajahnya menggambarkan kekecewaan. Di stang setir sepedanya saya lihat terdapat kantong plastik besar berwarna merah bening berisi banyak Indomie. Dugaaan saya, Indomie itu jatuh dari kantong plastik sepedanya. Apakah mereka berdua disuruh orangtuanya untuk berbelanja Indomie atau disuruh membawa plastik Indomie dari rumahnya, saya tidak tahu. Sepertinya Indomie tersebut mereka akan jual di pinggir danau... Mungkin bagi kita kebanyakan apalah arti sebungkus Indomie, entahlah bagi mereka berdua....

Rabu, 07 Januari 2009

Riak Air

Akhirnya, setelah pukul 21.00 WIB air hujan tak turun barang setetes pun. Maka pulanglah diri ini menggunakan si Jalu, motor kesayangan. Katanya hujan dimulai kira-kira pukul 19.00 WIB, saya tidak mengetahuinya, waktu itu saya sedang berjibaku dalam permainan tenis meja di lantai satu kantor. Tak terdengar setetes pun air hujan turun. Di pukul 20.00 WIB ketika telah kelar berjibaku, pulanglah saya.Ternyata hujan masih turun, sehingga saya urungkan niat untuk pulang, menunggu awan tak sanggup meneteskan lagi airnya. Dan menunggulah saya. Pukul 21.00 WIB, saya keluar dari area kantor, langsung terkejut, sudah ada genangan air rupanya di depan kantor, kira-kira semata kaki lebih tingginya. Secepat inikah air berkumpul, hanya kira-kira tidak lebih dari dua jam hujan turun, air telah menampakkan kekuatannya. Berjalanlah si Jalu menembus genangan air dengan penuh riak di sana sini. Jalan tersendat. Sebelum pertigaan yang mengarah ke kantor pusat Astra, terdapat gerombolan orang-orang, terdapat beberapa orang polisi, beberapa orang ABRI, dan yang mengejutkan terdapat mobil pemadam kebakaran terparkir di kerumunan itu di pinggir halte bis sebelum belokan ke kantor pusat Astra. Di suasana udara dingin selepas hujan dan masih banyak genangan, mobil pemadam kebakaran menampakkan kegagahannya, sungguh aneh. Lewatlah saya di kerumunan itu, semua orang tertuju kepada parit yang ada di di pinggir dan di bawah halte. Airnya banyak dan meluap, karena hujan besar yang baru usai. Di pinggir kerumuman saya lihat ada seorang ibu yang sedang ditenangkan hatinya oleh seorang wanita muda. Ibu itu duduk bersimpuh di bawah tegel halte, menangis tersedu, memejamkan maja. Saya trenyuh melihatnya. Saya berhenti barang sejenak untuk bertanya, apakah gerangan yang terjadi? Saya Tanya pada seorang bapak yang kebetulan sedang melihat ke gerombalan yang sedang sibuk melihat ke arah parit yang luber airnya. “Ada apa Pak?” ujar saya, “Ada anak kecil tenggelam di parit kecil itu.” Ujarnya sambil menunjuk parit yang airnya. Serta merta hati ini langsung terpaku menatap ibu yang duduk bersimpuh lunglai di tegel itu. Akankah ia ditinggalkan oleh anaknya malam itu. Memang tak habis pikir, parit kecil itu dapat menghanyutkan seorang anak, namun apa daya jika air telah memperlihatkan kekuatannya. Tak kuasa melihat ibu itu, saya langsung teringat akan si kecil di rumah. “Ibu dede lagi apa?” ujarku, “Udah tidur kok, barusan,” istriku menyahut di HPku. Takdir selalu akan menemui kita di mana pun, kapan pun. ..

Selasa, 30 Desember 2008

Ulang Alam

Sebenarnya manusia ngikut apa yang telah alam (Bumi) tandakan. Alam ini ternyata berulang setiap telah berusia 12 bulan. Entah siapa sebenarnya yang awalnya tahu alam ini berulang kembali setelah 12 bulan. Yang pasti, karena manusia adalah pengamat segala sesuatu, sehingga dengan mengetahui tanda-tanda dari alam ini, mereka menemukan bahwa alam akan berulang setelah 12 bulan. Dan karena alam berulang setelah 12 bulan, maka manusia pun akhirnya ikut atas ketentuan alam itu, mereka menyatakan bahwa perulangan akan terjadi setelah 12 bulan yang disebut tahun. Alasan penyebutan menjadi tahun sederhana saja, supaya lebih pendek mengatakan tahun dibanding 12 bulan, mungkin. Banyak versi mengenai penetapan ulang tahun alam ini, tapi intinya walaupun penetapannya beda, secara umum menggunakan 12 bulan perulangan. Untuk saat ini, ketetapan yang paling banyak diikuti oleh manusia di bumi adalah yang menggunakan ketetapan bulan (Hijriah) dan matahari (Masehi). Alam berulang tahun, maka manusia ikut pula ingin seperti alam, berulang tahun. Jika manusia berulang tahun, maka dirayakan dan direnungi hanya oleh manusia bersangkutan. Namun jika alam berulang tahun, maka semua manusia merayakan serta merenunginya. Setiap perulangan yang terjadi adalah patokan. Patokan yang dijadikan acuan penilaian kinerja hidup kita selama setahun ke belakang, dan patokan yang dijadikan acuan apa yang akan kita lakukan untuk setahun ke depan. Perusahaan menentukan target setiap tahun, organisasi menentukan target setiap tahun, pemerintah menentukan target setiap tahun, institusi pendidikan menentukan target setiap tahun, apapun, sekarang ternyata sesuatu dibuat untuk mengejar target. Lembaga nirlaba pun memiliki target walau parameternya bukan laba. Kita pun tentu harus memiliki target. Tujuannya adalah agar tetap dapat selaras dengan alam ini, sehingga tidak tertinggal dengan alam yang mulai tidak ramah ini. Dan jika ditanya seberapa besar target yang harus di capai? Ah mudah saja, ikut saja resep dari kanjeng Nabi, ‘Beruntunglah bagi seseorang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan esok lebih baik dari hari ini.’ Intinya, kita harus terus memperbaiki diri… Di tahun ini, ternyata perulangan hampir bersamaan waktunya baik ketetapan bulan dan maupun matahari, 1430 Hijriah, 2009 Masehi. Selamat menetapkan patokan baru.

Senin, 01 Desember 2008

Yang Menyelamatkan Hidup

Beberapa waktu lalu, saya iseng membuka Youtube untuk melihat tayangan Kick Andy ketika membahas mengenai novel Laskar Pelangi. Tujuan melihat tayangan ini hanya ingin menyimak kembali bagaimana cerita mengenai isi novel tersebut secara langsung dari pengarangnya. Secara keseluruhan tayangan ini begitu menyentuh hati serta memberikan sarat makna. Dan ternyata memang terbukti sekarang, sejak tayangan tersebut, novel tersebut langsung melejit dan sepertinya akan menjadi sejarah baik untuk sekarang maupun masa yang akan datang. Secara keseluruhan dari awal sampai akhir tayangan, saya melihat secara seksama seluruh acara yang ditayangkan, dan ternyata terselip sesuatu yang lain yang memiliki makna besar bagi saya selain mengenai novel Laskar Pelangi itu sendiri, yaitu komentar dari bintang tamu di acara tersebut, Gede Prama. Kira-kira di tengah acara, Gede Prama memberikan komentar mengenai fenomena novel ini dari kacamata lain, yakni tentang menulis. Gede Prama mengatakan bahwa ia pernah menemukan suatu tulisan yang bermakna ketika masih muda, dan tulisan tersebut ia ungkapkan di acara tersebut. Ia berkata bahwa yang menyelamatkan hidup bukan pendidikan, melainkan keterampilan. Dan ia memiliki keinginan dan harapan yang kuat untuk mengasah terus keterampilan yang ia senangi untuk dikembangkan, yaitu menulis, maka ia terus mengasah diri dalam hal menulis, dan setelah ratusan kali tulisannya ditolak, akhirnya dimuat di beberapa majalah dan koran, dan saat ini, kita ketahui tulisannya tersebar di mana-mana mulai dari majalah, koran, buku, jurnal dan sebagainya. Hal inilah yang ia percayai bahwa keterampilan menyelamatkan hidupnya sampai sekarang. Benar juga apa yang dikatakan oleh Gede Prama, bahwa keterampilan merupakan ‘penyelamat’ dalam hidup ini, dalam artian bahwa pendidikan bukan tidak penting, melainkan pendidikan adalah penunjang untuk menghasilkan keterampilan. Tengok saja di mana-mana dalam hidup ini yang dibutuhkan adalah keterampilan, misal keterampilan mengajar, keterampilan negosiasiasi , keterampilan dalam membuat laporan, keterampilan berolahraga, keterampilan berkomunikasi, keterampilan computer, bahkan strategi pun termasuk ke dalam keterampilan. Di dunia kerja pun demikian, jika kita memiliki keterampilan yang tidak dimiliki oleh orang lain, maka kita menjadi pekerja penting di lingkungan kantor atau tempat kerja kita berada. Pekerja berprestasi biasanya memiliki keterampilan lebih diantara rekan-rekannya, sehingga ia akan menjadi bintang di tempat kerja. Nah, bagaimana caranya agar kita memiliki keterampilan yang mumpuni, jawabannya cukup sederhana, bahwa keterampilan tersebut harus diasah terus menerus tanpa henti dan dilakukan secara konsisten, penuh determinasi, tentunya dengan keyakinan, terus belajar dari kesalahan serta ditunjang dengan ilmu.

Rabu, 26 November 2008

Manfaat

Saat ini sudah tidak aneh lagi, jika akan melangsungkan pernikahan atau khitanan maka undangan akan disebar terlebih dahulu, baik itu ke sanak saudara, ke tetangga maupun ke rekan-rekan yang dikenalnya. Bentuk undangan yang diberikan bermacam-macam, mulai dari yang termurah sampai dengan yang termahal, tengok saja, dengan bentuk undangan yang dikirimkan, ada yang bentuknya besar, kecil, unik, menarik, ekslusif dan macam-macam. Dari bentuk undangan yang dikirimkan, kita dapat mengetahui status orang yang mengirimkan undangan tersebut, jikalau undangan bentukya ekslusif, maka dapat dikatakan ia orang punya uang lebih untuk membuat undangan, dalam artian ia berharta. Undangan dalam bentuk cetakan saat ini telah menjadi suatu keharusan ketika akan melangsungkan acara pernikahan. Apalah kata orang nanti, jika undangan hanya diucapkan saja. Oke lah, untuk keluarga masih berlaku undangan dengan ucapan, namun untuk rekan kerja, rekan bisnis, penggede alias pejabat dan lainnya undangan tentu harus dalam bentuk cetak. Sekarang memang sudah ngetren di perkotaan undangan menggunakan media elektronik, semisal e-mail, facebook, buat sendiri web pernikahan dan sebagainya, tapi tetap saja dasar polanya dari desain yang akan dicetak. Nah, sebenarnya apakah tidak mubazir cetakan yang telah dibuat serta telah di desain dengan bagus nantinya akan dibuang begitu saja..Terlebih jika bentuk undangannya begitu ekslusif, paling ‘pool’ juga dijadikan sebagai bahan referensi untuk membuat undangan, setelah itu ke keranjang sampah juga akhirnya. Bukan berarti mengurangi rasa hormat kepada siapapun yang telah membuat udangan dengan bentuk cetakan yang menarik, namun alangkah baiknya undangan cetakan itu dipikirkan juga berguna setelahnya.Yang menarik, beberapa waktu yang lalu, di kampung halaman, saya kembali menemukan undangan yang begitu sederhana, yaitu berbentuk kipas dari bambu, dan undangannya hanya copy-an sederhana di tempelkan di kipas tersebut. Melihat bentuknya membuat saya tersenyum, kok ada undangan bentuknya seperti ini, namun setelah dipikirkan lagi, ternyata undangan ini luar biasa. Udangan ini memiliki manfaat setelahnya. Teringat setahun lalu sebelumnya saya juga melihat undangan dalam bentuk korek api

Kamis, 30 Oktober 2008

3000

Di tempat kedatangan, seperti di bandara, stasiun kereta, stasiun bis, terminal angkot, setelah melakukan perjalanan pastilah ada yang menyambut kita ketika sampai di tempat tersebut. Jikalah kita datang dari jauh, tentulah saudara dekat akan menyambut dengan cara menjemput, misal ketika datang dari luar negeri, datang dari kota yang jauh di luar pulau atau lainnya. Namun jika kita simak lagi, banyak sekali penjemput-penjemput lainnya yang ingin sekali mengantarkan kita ke tempat tujuan, misal, di Bandara, banyak sekali ‘penjemput’ yang siap menyambut kita, tengok saja ada supir taksi, supir mobil omprengan dan lainnya. Di stasiun kereta api pun demikian, banyak taksi maupun ojek siap ‘menjemput’ kita. Kemudian di stasiun bis, ada taksi, angkot, becak, bemo, ojek dan lainnya juga siap ‘menjemput’ kita. Dan tentunya penjemput yang disebutkan belakangan rela mengantarkan kemanapun tempat yang dituju asal kita dapat membayar mereka dengan harga yang pantas. Saya sendiri karena keluarga masih di kampung halaman, hampir tiap minggu menggunakan kereta api menuju Cirebon, kemudian dari stasiun tersebut, perjalanan akan diteruskan sampai ke kampung. Dengan menggunakan kereta api setiap minggu pastilah di stasiun akan bertemu para ‘penjemput’ yang dengan sungguh-sungguh mengantarkan saya dari stasiun ke tempat yang ingin dituju. Ketika keluar dari stasiun kereta api, biasanya di mulut jalan keluar telah berjejal ‘penjemput’ yang begitu antusias meminta agar mereka dijadikan penjemput oleh kita, mulai supir taksi, tukang ojek, tukang becak sampai dengan sopir mobil omprengan, saking antusiasnya, seringkali terjadi ‘kemacetan’ manusia di tempat keluar tersebut. Kebetulan hari itu saya akan dijemput (arti sesungguhnya), karena waktu kedatangan larut malam kemudian kendaraan ke kampung halaman akan sulit didapat di malam hari. Di lorong tersebut, saya beberapa kali menolak ‘penjemput’ yang menawarkan kendaraannya, beberapa tukang becak menawarkan jasanya dengan sungguh sungguh bahkan dengan nada memaksa. Setelah beberapa belas meter berjalan keluar, ada seorang tukang becak yang terus menerus mengikuti dan menawarkan jasanya. Usianya kira-kita udah 60 tahunan, hal ini terlihat dari raut wajah serta badannya yang kelihatan sudah tidak muda lagi, dan banyak kerutan di sana sini. Saya tetap terus menolak jasanya dan dikatakan saya akan dijemput, namun ia bertahan dan terus berjalan mengikuti langkah saya, sampai ia keluarkan kata “Gak apa-apalah mas tiga ribu aja, saya anterin,” ujarnya membujuk, namun tetap saya berjalan hingga akhirnya ia pun pergi. Setelah berjalan berpuluh langkah ke depan, saya berhenti memikirkan hal yang baru saja diucapkan pak tua tadi, dan langsung berpaling, ingin rasanya memberikan sejumlah uang yang pak tua tadi sebutkan, bukan maksud sombong dan merasa banyak uang, namun hanya ingin membantu, sepertinya ia benar-benar kesulitan, sampai rela dibayar 3000 ke mana pun arah yang mau di tuju, namun niat itu tidak kesampaian karena ia telah menghilang kembali mencari jemputan lain dalam keramaian stasiun. Dipikirkan lebih mendalam, betapa hidup ini begitu berarti, karena di luar banyak sekali sesuatu yang benar-benar membuat kita berpikir bahwa kita memiliki banyak hal yang telah diberikan oleh-Nya. Ternyata, di tempat manapun, terdapat banyak pelajaran yang berharga bagi hidup ini.

Kamis, 16 Oktober 2008

Merasakan

Di pagi yang sejuk setelah semalam turun hujan, telah sepakat dengan dengan istri, pagi itu si kecil rambutnya akan digunduli, sudah satu tahun setelah ekahan belum satu kali pun rambutnya di pangkas habis, alasannya sederhana, agar tumbuh rambut yang lebih bagus. Ketika tukang cukur yang kebetulan masih tetangga didatangkan, semuanya tampak biasa saja, tak ada hal yang membuat si kecil takut. Namun, ketika pisau cukur otomatis menyapu rambutnya, tangisnya meledak sejadi-jadinya, jadilah suasana berubah tak menentu, ia menangis terus ketika sedang digunting rambutnya, menangis sekencang-kencangnya, sampai keringatnya bercucuran. Seguk tangisnya bersama dengan diangkatnya kepala berulang kali menandakan ia merasa tersiksa. Di tengah tangisnya, muncul tangisan baru, sepupunya yang berusia 4 tahun ikut pula menangis, ia berkata kepada ibunya, kakak istriku, “Kasian dede, jangan diterusin menggunting rambutnya,” ujarnya iba. Sekecil itu sudah merasakan kesedihan saudaranya, menjadikan kita yang telah dewasa tersenyum melihat keponakanku menangis karena alasan tersebut. Namun setelah dipikirkan lebih dalam ternyata itu sebenarnya salah satu fitrah manusia, yaitu merasakan penderitaan sesamanya. Dan ternyata, tidak ada batasan usia bagi manusia tentang fitrah saling merasakan penderitaan ini. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita melihat sesuatu bencana atau kesedihan yang menimpa manusia, fitrahnya, kita merasakan bagaimana penderitaan mereka ketika tertimpa musibah, dan tentunya jika benar-benar meresapi lagi maknanya, maka kita tidak hanya merasakan saja, melainkan juga melakukan tindakan untuk membantu membebaskan penderitaan mereka yang tertimpa musibah. Sikap peka terhadap penderitaan orang lain inilah yang sulit dipelihara oleh manusia, kadang saya pun demikian, benar-benar tidak sadar atau mungkin tidak peduli dengan keadaan sesama. Hal ini terjadi mungkin disebabkan karena mulai terbelenggu oleh dunia, sehingga ego mementingkan diri sendiri serta sifat negatif muncul begitu kuat dibandingkan ego fitrah yang kita miliki. Sebenarnya agama telah banyak memberikan solusi mengenai hal ini, mulai dari memberikan sebagian rizki yang kita miliki, menolong saudara yang mengalami kesusahaan, puasa dan sebagainya. Namun itu tadi, kadang kita lupa karena dunia telah membelenggu kita…

Praktis

Benar juga apa yang dikatakan orang pintar, bahwa manusia itu dalam hidupnya selalu berpegang pada dua hal, mengejar kebahagiaan dan menjauhi kesengsaraan. Kalaupun ada orang yang menginginkan kesengsaraan, tujuan akhirnya pastilah ingin mencapai kebahagiaan. Praktek ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan mencakup segenap aspek kehidupan, mulai dari hal yang remeh temeh sampai hal yang tidak remeh temeh tentunya. Dan dalam proses mencari kebahagiaan itu (termasuk kesenangan di dalamnya), manusia selalu melakukan perbaikan di sana sini, dengan tujuan agar apa yang dilakukan atau yang dijalankan menjadi lebih mudah, praktis, murah, lebih baik, cepat, lebih nyaman, lebih menyenangkan dan lainnya. Sayangnya dalam proses perbaikan sana sini, manusia sering diliputi oleh nafsunya, walaupun tujuan akhirnya tercapai namun ada saja yang dikorbankan atau dapat merubah suatu kultur yang sebelumnya ada. Contoh, ketika manusia capek berjalan kaki, ketika mereka bepergian jauh, maka secara kreatif, manusia membuat suatu alat atau media yang dapat membawanya ke tempat jauh dengan lebih mudah sekaligus cepat dan kalau bisa sekaligus nyaman. Mulai dari dokar, sampai mobil mewah, bahkan pesawat supersonik mereka buat. Dan tentu saja ada yang dikorbankan dalam membuat karyanya ini, ada pengorbanan yang lebih besar dibandingkan dengan hasil, lebih kecil pengorbanannya, bahkan mengkin juga tidak perlu pengorbanan. Dan banyak lagi contoh yang lainnya. Di lebaran yang belum lama kita lalui, ada hal yang menarik saya untuk mengulasnya, walaupun memang remeh temeh, namun impaknya mengubah sedikit budaya masyarakat. Dalam suasana lebaran, seperti biasa kita saling mengunjungi satu sama lain, nah, ternyata saya sudah tidak melihat lagi suguhan teh atau air putih dalam gelas ketika berkunjung ke tetangga ataupun kerabat ,walaupun memang tidak mengharapkan, yang ada adalah suguhan air dalam gelas plastik, dan itu hampir ada di setiap rumah yang saya kunjungi. Ke depan kita mungkin akan jarang menikmati teh hangat yang disuguhkan oleh tetangga, kerabat atau siapapun yang kita kunjungi, karena telah diganti oleh air putih, air teh, air sirup, dan air-air lainnya dalam kemasan plastik. Karena lebih praktis dan mudah..

Selasa, 07 Oktober 2008

Terbagi

Begitulah ia, Tercipta ketika terbagi, Terbagi kepada siapapun, kepada apapun ----- Hal itu terasa, Terasa ketika ia terbagi… Kepada siapapun, kepada apapun ---- 29 atau genap 30, Semua untuk mengejar dan memperoleh, Suatu predikat. Predikat yang hanya dapat diukur oleh-Nya ---- Di akhir... Semua terasa indah dan lengkap, Biru jika merasa menggapai predikat ---- Jikalah rasa saja sudah indah kala menggapai predikat, Bagaimana kalau ia dibagi, Ya ....dibagi ---- Rasa itu dibagi, Kepada siapapun dan apapun, Bila ia terbagi, maka Bahagia terpendar ---- Bagilah bahagiamu, Bagilah bahagiamu, Agar bahagiamu menjadi nyata.....dan tercipta ---- Bagilah bahagiamu di hari nan fitri itu kepada siapapun dan apapun, Karena.. Kamipun akan rasa bahagiamu ---- ---- Selamat merayakan kebahagiaan, Ied nan fitri Hilman

Minggu, 31 Agustus 2008

Samakah kakekku dengan anakku ?

Sama, Barang tentu mereka sedarah, ia sama darahnya. Mata, hidung, kulit, gigi, dan segala yang ada ditubuh adalah buyut cicit. 99 tahun dan 1 tahun merupakan paduan yang sempurna. Buyut cicit. Buyut karena ia adalah kakekku, ayah bapak ku. Cicit karena ia adalah anakku, cucu bapak ibuku. Sama, Buyut sedang meraih hidup yang sempurna, cicit sedang membangun hidup yang sempurna. Sama, Buyut sedang menyelaraskan inderanya dengan alam, cicit sedang menyelaraskan inderanya dengan alam. Sama , Buyut sedang menyeimbangkan badannya dengan alam, cicit sedang menyembangkan badannya dengan alam Sama, Buyut sedang berusaha memijakkan dan menyeimbangkan kakinya dengan alam, cicit sedang berusaha memijakkan dan menyeimbangkan kakinya dengan alam Cicit, kecilku menyelaraskan, menyeimbangkan segala ada di dalam dirinya dengan alam. Sekarang ia telah mulai melangkahkan kakinya sambil membetangkan tanganya menuju ke depan, tanpa henti. Untuk menyeimbangkan dirinya dengan alam… Nak, selalulah kau imbangi alam ini dengan dirimu… Layaknya buyutmu yang telah menyeimbangi alam ini selama 99 tahun.